Friday, August 18, 2006

Angka Kemiskinan Menurun...???

by. Kinkin Mirajul Muttaqien

Menyikapi perkembangan negeri ini tentunya buanlah hal yang mudah. Ditengah-tengah kondisi bangsa yang sedang tak menentu ini, sedikit saja masalah yang muncul maka akan menjadi besar. Hal ini tentunya tidak lepas dari kondisi ekonomi bangsa yang terus menerus terpuruk. Bahkan angka kemiskinan bangsa kita begitu sulit untuk dikurangi. Peningkatan taraf hidup perkapita menunjukkan angka yang kurang memuaskan, akibatnya bangsa ini pun sulit lepas dari himpitan kemiskinan.
Namun demikian, ada hal yang aneh dan cukup unik. Dalam pidatonya di depan publik Presiden mengatakan: "Akan sia-sia kita membangun, kalau kita tidak mampu mengangkat rakyat kita dari lembah kemiskinan dan keterbelakangan,", saat menyampaikan Pidato Kenegaraan serta Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 beserta Nota Keuangannya, di depan rapat paripurna DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (16/8). (Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2004).
Dalam pada itu Presiden juga mengatakan bahwa angka kemiskinan telah mengalami penurunan, dengan kata lain bahwa pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan. Dalam pidatonya tersebut Presiden menjelaskan bahwa angka kemiskinan yang pada tahun 1999 mencapai angka 23,4 persen menjadi 16 persen pada tahun 2005. Ini artinya bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan sampai 7,4 persen.
Terlepas dari benar atau tidaknya isi pidato Presiden dengan kenyataan di lapangan. Sebagai rakyat, kita tentunya bisa menilai sendiri kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini. Jika memang benar apa yang disampaikan oleh Presiden, maka kita tentu merasa bangsa dan senang dengan hal itu. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka kita tentu merasa kecewa, karena hal ini merupakan kebohongan publik yang dibuat dalam pidato tersebut. Wal hasil, kita sebagai rakyat kecil terus saja dibohongi dan dibodohi, sehingga untuk meningkatkan kualitas berfikir kita menjadi sulit. Karena kita senantiasa dijejali dan dididik untuk membiasakan berbohong.
Kualitas bangsa dan negeri ini tentu bukan semata-mata diukur dari faktor ekonomi negeri ini. Akan tetapi hal ini sangat penting untuk menentukan martabat bangsa ini. Sehingga jika kita ingin diharagai oleh negeri tetangga, maka taraf ekonomi saat ini harus bangkit dulu. Bukan berarti faktor lain tidak penting untuk menunjang kredibilitas bangsa ini di mata dunia. Akan tetapi masalah mendasar yang cukup mendesak saat ini adalah perbaikan ekonomi bangsa.
Secara pribadi ada kekhawatiran yang sangat seirus, penurunan angka kemiskinan menurut pemerintah saat ini adalah hasil laporan badan-badan terkait yang kurang akurat, sehingga badan-badan tersebut memberikan laporan yang tidak berna. Atau memang benar bahwa angka kemiskinan telah menurun karena fakir miskin yang ada saat ini telah berhasil "diberantas" melalui program-program pemberantasan kemiskinan yang tidak jelas. Lihat saja misalnya penggusuran beberapa rumah milik fakir miskin yang terjadi belakangan ini. Atau pembersihan anak jalanan yang senantiasa berkeliaran di stopan-stopan lampu jalanan. Entah kemana sebagiabn mereka menghilang, mungkin karena mereka terkena program "pemberantasan" kemiskinan. Secara pribadi jadi sebuah tanda tanya besar apakah program ini bernama "Pemberantasan Kemiskinan" ataukah "Pemberantasan Masyarakat Miskin ?"

Saya yakin Anda sekalian terus mengikuti perkembangan negeri ini, baik lewat media cetak atau pun media elektronik. Bahkan bukan hanya masyarakat Indonesia yang ada di tanah air ini, mereka yang ada di perantauan pun saya yakin mengikuti perkembangan Indonesia kita. Jadi jawabannya ada pada Anda sekalian, itu mungkin hanya kecurigaan seorang individu yang sekedar melihat perkembangan bangsa ini.

Jadi jika memang angka kemiskinan berhasil ditekan, tentu imbasnya harus berkurangnya angka pengangguran, bukan sebaliknya. Angka pengangguran saat ini malah terus meningkat. Pada tahun 2005 pengangguran terbuka sebesar 10,9 juta orang, sedangkan tahun 2006 diperkirakan mencapai 11,4 juta orang. Jika memang demikian kembali kita tanya diri kita masing-masing, benarkah negeri ini telah berhasil menekan angka KEMISKINAN?

Wallahu'alam
bandung, 18 Agustus 2004

Tuesday, August 15, 2006

Merdeka di Negeri Yang Hangus

oleh : Kinkin Mirajul Muttaqien

Titik-titik darah itu tidak lagi kelihatan saat ini, yang ada beberapa bangunan pencakar langit menjulang tinggi. Ini tidak hanya bisa kita temui di Jakarta sebagai pusat kota dan sekaligus Ibu Kota Negera, bahkan di beberapa provinsi tingginya gedung-gedung seakan sengaja hendak menutupi saksi bisu sejarah negeri ini.

Dulu… yach dulu mungkin kita saat itu belum lahir, atau bahkan mungkin ada juga pelaku sejarahnya saat ini. Saat-saat negeri kita masih dalam cengkeraman kaum penjajah, begitu besar modal yang harus dikeluarkan oleh Orang Tua kita untuk menebus satu kata "MERDEKA", dari kekuatan tangan besi kaum imperialis.

Orang tua kita saat itu tidak hanya bermodalkan materi, justru lebih besar dari itu. Mereka harus berpeluh keringat, bahkan tak segan mereka menaruhkan modal nyawa satu-satunya demi kemerdekaan yang dicita-citakan. Sebalik ada tersembunyi dalam dada mereka, kelak anak-cucu mereka hidup makmur lepas dari penjajahan.

Cita-cita mereka begitu mulia, sehingga apa pun mereka lakukan untuk merebut cita-cita yang terampas kaum penjajah yang datang ke negeri ini. Mereka bahu membahu menggalang kekuatan di bawah satu komando. Mereka tidak lagi mempedulikan semburan peluru kapan saja bisa merenggut nyawa. Yang ada dalam benaknya hanya satu "MERDEKA ATAU MATI".

Kini setelah 61 tahun lalu, saat detik-detik proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, akan kembali dikumandangkan beberapa orang dalam peringatan HUT RI di beberapa daerah. Teks proklamasi itu, meskipun tidak asli lagi tapi mengandung nilai yang sangat bersejarah.

Setiap memasuki bulan Agustus, kita perhatikan bendera Merah Putih, umbul-umbul, baliho dan masih banyak lagi pernak-pernik lainnya dipasang dibeberapa titik kota. Bukan hanya itu, untuk memperingati HUT RI beberapa kegiatan digelar dan yang paling unik kita sering menyaksikan adanya PANJAT PINANG. Entahlah apakah dengan cara ini anak-anak bangsa kita merayakan dan memperingati jasa nenek moyang mereka yang telah susah payah menebus kemerdekaan ini dengan nyawa mereka.

Tapi, coba kita kaji kembali secara mendalam. Apakah benar kita telah MERDEKA ? Secara fisik mungkin jawabannya "YA", tapi bila kita mencermati aspek lain, tentu kita begitu miris. Penjajahan fisik yang sempat dipatahkan para Pahlawan Bangsa, ternyata belum meninggalkan bekas yang dalam. Jika saat ini mereka masih ada dan masih menjadi saksi kondisi bangsanya sekarang, bukan mustahil mereka akan menjerit. Menjerit melihat nasib negeri ini yang kian tak menentu akibat hausnya kedudukan para petinggi negeri.

Bukan hanya kedudukan yang menjadi prioritas, kekayaan dan kekuasaan seperti telah menjadi lahan empuk bagi mereka untuk terus meraup hasil yang sebanyak-banyaknya. Akibatnya tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab tega menggerogoti kekayaan negeri ini dengan menjual nama rakyat. Partai-partai muncul bergentayangan bak jamur di musim hujan, mereka saling menyusun strategi layaknya sang maestro catur untuk memenangkan pertandingan. Janji-janji mereka lontarkan saat masa kampanye, apa yang terjadi setelah berhasil…??? Semua nihil dan hanya isapan jempol.

Kesejahteraan, kemakmuran, kestabilan bukannya terwujud yang ada rakyat semakin melarat. Pendidikan juga semakin mahal, bahkan banyak penyelewengan yang terjadi dalam penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Siswa). Akhirnya banyak siswa yang seharusnya mendapatkan dana BOS habis di tengah jalan.

Belum lagi kalau kita perhatikan dibeberapa tempat kehadiran Anjal (anak jalanan), gelandangan, pengamen, PKL dan masih banyak lagi yang nasibnya semakin tidak menentu di bawah bayang-bayang kebijakan pemerintah. Beberapa penertiban yang dilakukan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL mendapatkan perlawanan sengit dari para PKL. Penggusuran rumah liar milik penduduk bayangan (baca: pendatang), yang mendirikan bangunan-bangunan liar juga mendapatkan perlawanan, walaupun akhirnya aparat berhasil melakukan eksekusi.

Beberapa kasus hukum yang disidangkan sampai ke pengadilan pun lebih banyak hanya manipulatif. Alih-alih pengadilan di negeri ini tak ubahnya sebuah entertainment yang memuakkan. Praktek KKN malah sering terjadi dalam kasus persidangan yang melibatkan hakim, sungguh miris jika kita melihat kondisi negeri seperti ini.

Seperti tak ingin berhenti sampai di sini, beberapa kejadian tak terduga datang silih berganti. Berawal dari Tsunami Aceh di akhir Desember 2004, bencana (baca: Adzab) datang silih berganti. Ketika masyarakat memusatkan perhatiannya pada gunung merapi yang sedang aktif, tiba-tiba Yogyakarta ditimpa Gempa. Puluhan rumah hancur, ratusan nyawa melayang dan korban terbanyak di daerah Bantul. Kerugian sudah tentu mencapi nilai nominal yang tidak sedikit. Belum lenyap duka negeri ini, semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo mengakibatkan banjir lumpur ke daerah pemukiman penduduk. Sampai sekarang upaya masih dilakukan untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pun berjanji akan memberikan santunan pada para korban pengungsian. Janji ini belum terealisasi tiba-tiba tanggul penahan lumpur yang dibuat PT. Lapindo Brantas jebol dan lumpur pun kembali menggenangi rumah-rumah penduduk sampai ketinggian di atas 1 meter.

Amuk lumpur panas yang semakin mengganas seperti mengundang raja tega yang lain. Gempa di dasar laut Jawa dengan kekuatan 6,1 skala richter mengguncang beberapa tempat wilayah. Tsunami pun kembali terjadi di Pangandaran, Cilacap dan beberapa tempat lain. Korban berjatuhan dan kerugian kembali tidak bisa dihitung dengan nilai nominal.

Pada akhirnya kita dihadapkan pada berbagai masalah yang tak kunjung usai. Sementara itu HUT RI ke 61 sudah diambang pintu. Masih perlukah kita memperingati HUT RI dengan berbagai acara-acara seremoni. Ataukah kita kembali menumbuhkan semangat juang nenek moyang kita dalam setiap benak individu pelaku dan sekaligus penikmat "KEMERDEKAAN" ini. Jika saja kita tidak bisa menumbuhkan sikap semangat juang seperti nenek moyang kita untuk mengisi kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan, itu sama artinya saat ini kita "MERDEKA DI NEGERI YANG HANGUS".

Wallahu 'alam …

Bandung, 11 Agustus 2006
email : rah_miraj@yahoo.com
HP. 081 323232 437
Telp. 022-9135 9952

terima kasih

>> alhamdulillah, kini IKMI-Korea banyak menerima masukan dan kritikan dari para pembaca dan pengunjung weblog. >> begitu pula dengan surat-surat yang diterima ke redaksi IKMI-Korea. >> sebagai wujud kecintaan IKMI-Korea kepada para pengunjung dan pembaca blog, IKMI menyediakan wadah tulisan buat para simpatisan IKMI-Korea.